Cerpen

Sepatu Abu-abu

Lima menit lagi adzan Ashar, aku sudah mengambil wudhu. Jam empat sore, jadwal mengajar tahsin ibu-ibu di Komplek Permata Indah. Rencananya setelah sholat Ashar, aku langsung berangkat. Ramai berbunyi notifikasi whatsapp di gawaiku, agenda silaturrahim di group akhwat ROHIS SMA masih dibahas rupanya. Sepertinya tahun ini aku tidak bisa hadir juga, walaupun rindu rasanya hati ini ingin bertemu kembali dengan saudari-saudariku.

Sambil membetulkan jilbab, aku berkaca. Ah, warna gamis inipun sudah mulai memudar. Sudah lama sekali rasanya, aku tidak pernah membeli gamis baru. Yang sekarang dipakai, alhamdulillah hadiah dari murid tahsin lebaran tahun lalu.

Selesai menunaikan sholat, aku bergegas mengambil tas, kunci motor dan mengunci rumah. Setelah pekan lalu, satu-satunya sendalku yang bagus, copot talinya, aku terpaksa memakai sendal jepit merah merek sejuta umat untuk mengajar. Toh, sendal itu kan ditinggal di luar, tidak ikut masuk ke dalam rumah. Nanti pura-pura tertukar saja pas mau berangkat, eh tapi kan itu termasuk berbohong ya. Teringat selasa kemarin, salah satu murid tahsinku ada yang bertanya sendal jepit itu punya siapa, aku menjawab seperti itu untuk menutupi malu, astaghfirullah.

Itu juga yang membuatku berfikir beberapa kali untuk menghadiri acara reuni atau kumpul-kumpul. Aku tidak punya pakaian dan sepatu yang layak untuk acara-acara seperti itu.

——

Beberapa hari lagi, anakku yang bungsu akan wisuda TK. Pagi ini, aku janji mengajaknya ke pasar, membeli sepatu baru untuknya. Amplop dari murid tahsin kemarin, kuselipkan hati-hati dalam dompet sebelum berangkat. Aku sudah berniat membeli sepatu baru untukku juga. Warnanya abu-abu, model sepatu kets tapi formal yang lagi tren saat ini, sudah lama kuintip tiap ke pasar. Hai sendal jepit merah, maaf ya aku tidak bisa mengajakmu ke acara wisuda anakku, jangan cemburu nanti dengan teman barumu yaa.

——-

“Dengan Bapak Yusuf?”

“Ya betul, saya sendiri.”

“Maaf Pak, ini istri bapak kecelakaan motor…”

“Innalillahiii, ya Allaah…”

“Tenang pak, alhamdulillah istri bapak selamat, hanya saja tempurung kaki kirinya pecah, dan harus segera dioperasi…”

——–

Pak Yusuf menatap sendu wajah sang istri di pembaringan rumah sakit, sambil menggenggam erat tangan kurus kekasih hatinya itu. Di atas lemari, ada sekantong plastik, berisi jilbab dan jaket penuh darah, di sampingnya ada tas merah yang berisi Al Qur’an dan Buku Tahsin. Benda berikutnya membuat hatinya tambah pilu, tergeletak di bawah tempat tidur, sepatu kets berwarna abu-abu, yang baru seminggu dibeli istrinya.

Bunda Izza

Leave a comment